15
Juli 2010
“Oke, semuanya! Karena hari ini kita berada di taman
bunga, silahkan kalian mengambil beberapa foto mengenai alam, bunga, tumbuhan,
dll. Terserah kalian” ucap Pak Kumis.
Setelah
akhirnya Pak Kumis memberikan kami beberapa arahan, anak-anak klub fotografi lainnya mulai berpencar
mencari objek bidikan yang bagus. Maklum, anak-anak yang bergabung dalam klub
fotografi ini memang termasuk anak-anak yang maniak untuk memotret maupun
dipotret. Yah, mungkin termasuk narsis, tapi aku lebih memilih sebagai orang
yang berdiri dibelakang kamera bukan didepan kamera.
Nina
mengajakku berjalan bersama untuk mencari objek yang bagus sekaligus menjadi
teman agar kami berdua tidak kebosanan.
“Ada-ada
aja, Pak Kumis. Tiba-tiba nyuruh kita bangun pagi ternyata dia ngajak kita field trip ke taman bunga, hahaha” Nina memulai
pembicaraan
“Yah,
gitu deh, kalau punya guru jiwa petualangnya gede sama eksentrik. Tapi untung
juga deh, kita juga Cuma disuruh bayar separuhnya doang. Memang guru paling T-O-P deh, Pak Kumis!” aku
memujinya
“Ngomong-ngomong
soal Pak Kumis, gue lupa kenapa anak-anak klub fotografi, termasuk kita berdua
nih, kenapa manggil dia Pak Kumis? Padahal nama aslinya kan bagus, Harris. Bule-bule gimana gitu?” ucap Nina panjang
lebar
Aku
langsung memasang muka berpikir untuk kembali mengingat-ingat kenapa kami semua
memanggilnya dengan sebutan Pak Kumis “Iya juga ya, kalau nggak salah sih?
Sejak kita pergi study tour buat
kenaikan kelas 2 ke Yogya. Dia mencoba memakai blankon
sama baju-baju kraton yang mirip Pak Raden Unyil, tapi yang paling mencolok
adalah kumisnya. Dan akhirnya kita semua sepakat panggil dia Pak Kumis,
untungnya dia nggak marah dan menjadikan kumisnya itu sebagai asset paling
berharganya dia”
“Kok
bisa ya pembimbing kita kayak gitu?” Nina heran
“Tau
deh”
Setelah
berjalan-jalan cukup jauh, kami berdua memutuskan untuk memasuki taman mawar.
Dan kami berdua cukup terpesona untuk beberapa detik sebelum akhirnya kami
benar-benar masuk kedalam dan memutuskan untuk berpencar di dalam sana.
Aku
mulai memotret berbagai objek indah yang kutemukan dan sebetulnya tak begitu
sulit, mengetahui bahwa aku lumayan menyukai mawar apalagi mawar berawarna
merah darah. Setiap kali aku berajalan, bunyi
klik dari kamera terdengar. Aku
memotret setiap mawar yang kulihat, tapi mungkin obsesiku dengan mawar merah
membuat semua mayoritas fotoku di taman mawar ini berwarna kebanyakan merah.
Aku
mulai terbawa kedalam duniaku sendiri saat aku mulai memotret berbagai objek-objek
indah yang kutemukan, sebelum sebuah tangan
menyentuh pundakku, membuatku mundur selangkah karena kaget.
“Kok
kaget gitu sih?” Nina tampak heran melihatku
“Elo,
Nin. Gue kira siapa.” Kataku mengelus dadaku yang masih agak naik-turun
“Emang
siapa lagi disini selain gue sama lo?”
“Ya,
kali tukang kebon gitu? Ada apa?”
“Udah
45 menit kita disini. Nggak mau pindah ke tempat lain? Gue juga haus nih…” Nina
menyadarkanku yang sempat terbengong ketika dia mengucapkan kata “45 menit”
“Hah?
45 menit? Kita ngapain aja?” aku linglung seketika
“Ya,
motret lah! Astaga, lo kenapa jadi amnesia mendadak
sih? Keluar yuk…” ajaknya
“Harus
sekarang ya?” tanyaku dengan nada memohon untuk tinggal disini 5 menit lagi
“Obsesi
lo sama mawar merah darah memang bikin repot ya? Iya. Itu jawaban gue buat
pertanyaan lo tadi. Ayo, keluar cari objek lain sekalian minum!” Nina mulai
menarik tanganku keluar dari taman mawar dan
dengan langkah malas aku mengikutinya.
***
“Eh
disitu ada yang jual minuman!” sahut Nina, “tapi kok ramai ya?” dia mengeluh
“Kalau
lo lama gue tinggal aja ya…” kataku mulai malas
“Yah,
kok gitu sih?” sekarang giliran dia yang memasang muka memohon untuk membuat
aku menemaninya hingga ia selesai membeli minuman
“Time is money, yang artinya jangan kita
sia-siakan waktu kita. Kalau misalkan lo beli minuman 5 menit lamanya, berarti
gue harus membuang waktu 5 menit gue yang harusnya gue gunakan untuk
jalan-jalan tapi malah buat nungguin lo disatu tempat. Sama aja gue yang rugi”
jelasku panjang lebar
“Sok
filsafat lo. Yaudah deh sono pergi, ntar gue susulin lo aja” katanya dengan
muka manyun
“Sip.
Gue pergi dulu” aku mulai berlari kecil meninggalkannya, sementara ia berlari
menuju kearah kedai minuman yang ramai
***
Aku
menurunkan SLR yang berada di depan wajahku setelah beberapa kali mengambil
bidikan bunga melati yang telah tumbuh di balik semak-semak. Aku memperlambat
jalanku, sambil mencari spot yang
enak sebagai tempat istirahat sekaligus mengaggumi pemandangan sekitarku ini.
Dari
kejauhan aku melihat pohon Sycamore
yang tumbuh di atas bukit kecil. Aku tersenyum senang melihat tempat itu, dan segera bergegas kearah bukit
kecil itu.
Sesampainya
di bukit itu, aku segera menaruh tas selempang hitamku disamping dan
membaringkan badanku dibawah pohon Sycamore itu. Aku mulai memandangi langit biru
yang terbentang luas dengan awan-awan yang berarak disana, dan mulai terhanyut
dalam duniaku lagi bersama angin yang berhembus. Tanganku tergerak untuk
mengangkat SLR-ku yang terletak diatas dadaku dan menghadapkannya kearah
langit, baru saat aku ingin memencet tombol untuk mengambil gambar langit biru
itu, seseorang dengan senyumnya yang menurutku sangat indah muncul dalam layar
SLR-ku, dan menyapaku.
“Hari
yang cerah, bukan?” katanya
Aku sama sekali tak bisa berkata apapun,
aku terdiam. Satu hal yang kurasakan bahwa tanpa kusadari hanya tanganku yang
bergerak langsung memencet tombol SLR, dan dalam hitungan detik kemudian
terdengar bunyi klik.
Aku
terpaku seketika. Ingin rasanya aku berteriak kaget tapi kata-kata yang ingin
aku ucapkan seperti
tercekat di dalam
tenggorokanku dan tak bisa kuucapkan, hingga akhirnya dia yang memulai
pembicaraan
“Hei,
lo nggak apa-apa kan?” tanyanya kali ini dengan memasang muka khawatir
“Oh,
iya! Astaga maaf…” kataku segera bangkit duduk dari posisi berbaringku, dan mulai
bersikap kikuk
“Hahaha,
nggak apa-apa kok”
tawanya, “hmm… boleh ikut duduk?” tanyanya lagi padaku
Aku menatapnya ragu sesaat “Silahkan”
Kami berdua terdiam cukup lama, sebetulnya aku juga malas
untuk mengajaknya bicara. Apalagi jika kembali kuingat-ingat bahwa dia ini
orang asing. Aku mulai merasa gugup dan canggung, dan aku paling tidak suka
suasana yang gugup dan canggung. Baru terpikir olehku untuk segera bangkit
pergi, cowok itu mulai angkat bicara
“Kesini pasti buat ngambil foto, ya?” tanyanya
Aku yang saat itu masih melamun, kaget saat mendengarnya
bicara “Hah? apa?”
“Nggak, lo kesini pasti mau ngambil foto, ya kan?”
“Biasa aja. Memang kenapa?” tanyaku dengan nada datar
“Itu lo bawa SLR. Kali aja lo termasuk salah satu
rombongan yang lagi hunting foto
disini”
Aku mengerti maksud dari ‘rombongan’ yang dia ucapkan “Oh,
iya. Biasa pembimbing ngajak kita pergi buat cari inspirasi lain”
“Capek pasti ya kalo di kota?”
“Ya, gitu deh. Objeknya itu-itu aja, bosan” jawabku, lalu
menoleh kearahnya dan melihat tas yang biasa digunakan untuk SLR terletak
disampingnya
“Lo juga lagi hunting
foto disini?” tanyaku
“Iya. Kok lo tahu?” dia tampak heran
“Itu tas SLR kan?” kataku sambil menunjuk tas
disampingnya
“Iya, lagi pengen aja. Mumpung di puncak gitu, haha”
candanya
Aku tersenyum kecil “Hmm…”
“Boleh lihat foto lo nggak?” tanyanya tiba-tiba
“Hah? ngapain? Nggak ah” jawabku menolak
“Yah, kan lihat aja. Ntar lo boleh liat foto gue deh” tawarnya
“Mau banget ya sampai harus nawar begitu?” aku meledeknya
“Nggak juga. Biasa aja lebih tepatnya. Mau nggak? Gue
tahu lo mau lihat”
Ini orang luar
biasa pede-nya, tapi boleh juga sih lihat hasil potretannya. Tapi pede-nya
nyebelin banget, pikirku. Aku terdiam sebentar sebelum akhirnya mengiyakan.
Kami saling bertukar SLR dan melihat hasil foto
masing-masing. Aku cukup terkagum dengan hasil karyanya, hasil karyanya sungguh
seperti professional. Aku hampir dibuat terbengong-bengong melihat karyanya.
Setelah beberapa menit, aku terhanyut dalam foto-fotonya, dia menyadarkanku
dengan menepuk pundakku.
Aku langsung tersadar seketika “Apa?”
“Gue paling suka foto lo yang ini” katanya sambil
menunjukkan foto yang tak sengaja kuambil saat dirinya menyapaku tadi. Dan aku
hanya memandangnya dengan tatapan aneh
“Ya jelas lo suka! Itu foto lo” protesku sambil tertawa
kecil
“Oh iya! hahaha” dia mulai ikut tertawa
Baru beberapa menit bersamanya sepertinya aku mulai
merasa akrab dan menyukainya, dia tampak menyenangkan. Apalagi suara tawanya
yang sepertinya mulai terdengar sangat khas.
“Lo suka foto gue yang mana?” tanyanya
“Banyak. Jadi bingung…”
“Yaudah pilih salah satu aja, susah amat…”
“Iya, iya sabar…” jawabku dan mulai melihat-lihat kembali
foto-foto dalam SLR miliknya. Baru ketika aku ingin memberi tahu salah satu
foto kesukaanku, sebuah suara yang sangat kukenal menyerukan namaku
berkali-kali
“Ya ampun, kayaknya gue udah dicari!” aku mulai buru-buru
merapikan barang-barangku. Aku segera bangkit dari dudukku dan berjalan pergi
sebelum cowok itu memegang tanganku tiba-tiba
“Gue belum tahu nama lo” katanya
Aku terkejut dengan apa yang ia katakan “Oke. Lo percaya
sama pertemuan kedua kan?” tanyaku akhirnya padanya
Dia terdiam dengan muka tak mengerti
Aku menghela nafas pendek “Gini. Nanti kalau kita ketemu
lagi, gue bakal kasih tahu nama gue ke lo. Tapi kalau nggak berarti lo nggak
akan tahu nama gue sampai kapanpun. Gimana?”
Dia tersenyum seperti menyetujui apa yang kuucapkan
“Siapa takut?”
“Sip. Kalo gitu gue duluan ya” aku berlari meninggalkanya
menuju kearah Nina yang daritadi memanggilku dan mulai memarahiku begitu aku
muncul dari balik bukit kecil itu.
***
11 Juli 2011
Setahun berlalu, aku bahkan
sudah lupa mengenai tantangan yang kuberikan pada cowok asing yang bahkan tak
kukenal itu. Dan hari ini di klub fotografi, Pak Kumis tiba-tiba mendatangiku
“Kara!” panggil Pak Kumis
saat aku tengah membenahi barang-barang yang berserakan di ruangan klub
“Kenapa, pak?”
“Kamu masih ingat keponakan
saya, Rangga?” tanya Pak Kumis
“Lumayan, Pak. Memang ada
apa sama keponakan bapak?” jawabku bingung karena tiba-tiba Pak Kumis bertanya
soal Rangga
Rangga itu adalah keponakan
Pak Kumis yang hobinya juga fotografi. Kata Pak Kumis juga dia seumuran
denganku, tapi sayang kami anak-anak klub fotografi tak tahu bagaimana rupanya
karena kami hanya mendengar Pak Kumis bercerita tentang dia. Sementara foto
saja tak diberitahu.
“Keponakan bapak mau
ngundang anak-anak klub fotografi untuk datang ke Festival Fotografi 2011 ini”
jelas Pak Kumis
“Hah? bapak serius? Festival
Fotografi 2011 terbesar se-Indonesia itu yang diadain hari Sabtu depan itu?”
aku kaget
“Iya! Kamu nggak usah kaget
gitu dong” Pak Kumis terheran-heran melihatku begitu semangat
“Hehehe, iya pak. Maaf” aku
tertawa cengengesan
“Tadi bapak lupa pengen
kasih tahu kalian semua. Tapi, mumpung tinggal kamu yang lagi bebersih disini, nanti
kamu kasih tahu anak-anak yang lain ya”
“Serius itu, pak? Baik
banget memang keponakan bapak! hahaha” ucapku kegirangan
“Iya, iya kalau gitu bapak
duluan ya. Ini kuncinya kalau sudah selesai bebersih”
“Ya, pak!” seruku
sepeninggalan Pak Kumis dari ruang klub. Setelah Pak Kumis pergi, aku langsung
mengambil blackberry-ku dan
menyebarkan berita menyenangkan tadi lewat grup.
***
15 Juli 2011
Jalanan begitu ramai padat
merayap, apalagi saat mau memasuki gerbang tiket parkir di JCC. Beruntungnya
kami karena sudah memperkirakan akan semacet ini jalanan sehingga kami
berangkat agak cepat. Setidaknya, yang dimaksud cepat kami masih bisa
mendapatkan tempat parkir di dalam JCC.
Begitu kami memarkir mobil, kami segera berjalan
mengikuti Pak Kumis yang langsung memasuki gedung JCC. Gedung itu tampak begitu
luas, banyak orang berlalu lalang, berbincang-bincang, reporter, dsb. Sepertinya acara ini memang besar,
pikirku
Pak Kumis langsung memimpin jalan agar kami tidak kesasar
dan langsung menuju main hall di JCC.
Dimana Festival Fotografi itu diadakan. Baru sampai di depan pintu main hall aku langsung terkagum-kagum
dengan apa yang ada didalamnya, ada begitu banyak orang yang ada didalam sana
dari artis ibukota, reporter, kritikus, fotografer ternama, dan berbagai
foto-foto hasil karya dari orang-orang yang berbeda. Aku begitu tercengang
sampai tidak menyadari Pak Kumis dan yang lain sudah jauh berada di depanku,
saat tengah berjalan Ari memanggil Pak Kumis
“Pak, kita boleh mencar nggak?”
“Mencar? Kamu memang mau kemana?” tanya Pak Kumis
“Ya, lihat foto-foto lah, pak. Memang mau kemana lagi?”
“Saya ngeri kalian kesasar”
“Ya, nggak mungkin lah, pak. Bapak bisa aja…” Nina angkat
bicara
“Ya, terserah kalian, sih. Bapak mau ke tempat keponakan
bapak dulu”
“Oke lah, pak! Nanti kita susul kesana! Duluan, pak” Ari
langsung pergi berpencar entah kemana bersama Dion
“Yuk, Kar.” Ajak Nina padaku dan kami mulai berpencar
dari yang lain
Kami berdua berjalan melihat-lihat setiap foto yang
terpajang di dinding. Nina begitu terpaku oleh salah satu foto bangunan yang
memang dari segi foto itu sendiri diambil tampak begitu perspektif. Aku ingin
mengajaknya berjalan untuk melihat foto yang lain, tapi ia masih tetap ingin
berada disitu sehingga aku memutuskan untuk meninggalkannya sebentar, dan
melihat-lihat foto lain.
Saat tengah asyik melihat satu persatu foto yang
terpajang di dinding, tatapanku berhenti pada sebuah foto yang menampakkan pohon
Sycamore berlatar belakang langit sore yang mulai orange kemerah-merahan, tanda
matahari terbenam. Foto itu seakan rasa begitu familier bagiku, aku menatap foto itu dengan tatapan mengingat-ingat.
Aku sangat yakin foto itu tampak tidak asing, aku melihat judul dari foto itu
yang tertulis Until We Meet Again oleh
Rangga Chandrawinata. Rangga?
Jangan-jangan ini potretan keponkan Pak Kumis, lagi? tapi kok kayak ada yang
nggak asing ya? pikiranku tampak hanyut dalam lukisan itu seakan-akan ada
yang mengingatkanku tentang sesuatu.
Aku tampak memperhatikan serius akan foto itu, hingga
keseriusanku berakhir saat sebuah suara terdengar dari samping kiriku.
“Cuacanya cerah ya?” kata suara yang tampak tak asing
Aku menoleh ke sampingku dan terpaku sesaat. Disitu ia
berdiri, tepat disampingku, bertanya pertanyaan yang sama saat pertama kali
bertemu dan aku bahkan masih terkejut saat bertemu dengannya lagi. Tak tahu
apakah ini suatu kebetulan atau bukan
“Nggak usah pasang muka kaget gitu kali?” kata cowok itu
“Lo… lo cowok yang di taman bunga itu kan?” tanyaku
setengah tak percaya
“Memangnya siapa lagi?” tanyanya sambil tersenyum,
“Rangga” dia mengulurkan tangannya memperkenalkan diri
Masih tampak terkejut aku menyambut uluran tangannya
“Kara”
“Iya. Sudah tahu kok”
Sungguh, ini cowok
kenapa senang sekali mebuatku kaget, heran, dan kesal sih? aku tampak kesal
“Sudah
tahu nama gue? Kalo gitu kenapa ngenalin diri?”
“Karena lo belum tahu nama gue, kan?”
Betul juga.
“Hmm…” aku hanya berguman
Tapi ada satu hal yang membuatku bingung, bagaimana ia
bisa tahu namaku? Aku saja belum tahu namanya.
“Hei, kok lo…” belum sempat aku menyelesaikan kalimatku,
sebuah suara menyerukan nama Rangga. Dan kami berdua menoleh secara bersamaan
“Pak Kumis?” kataku
“Loh? Kamu disini toh, Ra. Daritadi dicariin Nina kamu.”
jelas Pak Kumis, tiba-tiba Pak Kumis melihat kami berdua secara bergantian dan
berkata “rupanya kalian sudah saling kenal, ya?”
“Hah? maksud bapak?” tanyaku bingung
“Ini kan keponakan saya, Ra. Namanya Rangga Chandrawinata”
kalimat Pak Kumis ini membuatku kaget seketika, dengan mulut yang menganga
“Ra, tutup mulut lo, malu diliatin banyak orang” Rangga
mengingatkannya
“Kok bisa sih? saya jadi nggak ngerti gini deh pak?” Aku
mulai linglung
“Paman, kembali saja ke tempat duduk tadi nanti biar aku
sama Kara nyusul”
Setelah Rangga berkata begitu Pak Kumis pun segera
kembali ke tempat Rangga yang disuruh Rangga. Dan kembali menatapku yang
kebingungan membutuhkan penjelasan
“Lo pasti butuh penjelasan ya?” tebaknya
“Itu sangat betul. Sekarang jelasin dari awal sampai
akhir” aku menagih penjelasan padanya
“Bukan suatu kebetulan kalau lo ketemu lagi sama gue
disini, karena memang gue sudah ngerencanain semuanya.” jelasnya membuatku
masih menatapnya heran. Dia menghela nafas pajang dan kembali melanjutkan
ceritanya “Kita memang ketemu di taman bunga karena kebetulan gue sama
temen-temen satu sekolah gue ada acara disana juga. Pas gue lagi sibuk nyari
objek, gue ketemu paman gue yang selalu lo sebut ‘Pak Kumis’ itu. Gue
ngobrol-ngobrol sama dia sebentar, katanya gue disuruh nyari lo.” katanya dan
membuatku kaget
“Nyari gue? Ngapain Pak Kumis nyari lo buat manggil gue?”
“Sebentar kan belum selesai” Rangga menambahkan sementara
aku hanya manggut-manggut
“Katanya gue disuruh nyari lo supaya kita bisa tukar
pendapat atau inspirasi. Kata paman gue lo itu mirip gue, begitu menghadap SLR
lo udah ada di dunia lo sendiri. Gue sebenarnya nggak ngikutin permintaan paman
gue, gue secara tiba-tiba aja ngeliat lo lagi motret banyak bunga, terus
istirahat di bawah pohon Sycamore. Lo kayak nggak memperhatikan keberadaan gue
yang jelas-jelas ada di belakang lo saat itu, gue penasaran sama lo dan entah
kenapa gue bisa tiba-tiba datangin lo.”
“Gitu doang?”
“Gimana mau selesai kalo lo potong-potong?”
“Maaf, maaf. Mari lanjutkan”
“Entah kenapa gue berasa lo
itu unik. Makadari itu gue nanya nama lo, dan elo malah bikin gue penasaran
pake acara bakal ngasih nama kalo kita ketemu untuk kedua kalinya. Gue setujuin
aja apa yang lo mau. Beberapa minggu kemudian, pas gue ketemuan sama paman gue,
dia ngasih tunjuk hasil foto-foto lo di taman bunga. Dan harus gue akuin gue
kagum sama foto-foto lo, gue tahu itu foto dari lo karena di salah satu foto
itu ada foto gue yang lo nggak sengaja foto. Makanya gue nanya nama lo sama
paman gue. Dan dia bilang kalo foto-foto ini hasil potretan lo, Kara.”
Aku sedikit tersipu akan
pengakuannya “Jadi pertemuan ini direncanain bareng Pak Kumis juga? Bukan
kebetulan? Yah, nggak spesial deh” ledekku
“Ini kebetulan kok. Gue Cuma minta dia ngundang klub
fotografi aja, gue nggak tahu lo ikut atau nggak. Dan gue juga nggak cerita ke
paman soal pertemuan kita dibawah pohon Sycamore. Setelah lo pergi itu, gue
duduk disana sampai matahari mulai terbenam dengan latar belakang langit yang
terbakar gue foto pohon Sycamore itu, dan dengan judul Until We Meet Again” katanya sambil tersenyum lalu menoleh padaku
Aku menundukkan muka menyembunyikan mukaku yang mulai
panas tiba-tiba. Tidak pernah aku merasa seperti ini ketika bicara pada cowok,
apalagi cowok asing seperti dia. Yah, dia memang sudah tidak asing lagi karena
kami sudah berkenalan. Aku membalas tatapannya
“Dunia begitu sempit” kataku sambil melihat foto pohon
Sycamore itu seraya tertawa kecil
“Saking sempitnya kita bisa ketemu lagi” jawabnya, dan
kami berdua tertawa bersamaan
p.s: mohon maaf apabila ada kesamaan nama maupun cerita, tidak disengaja..
by: Adella Ludiant W.
XI SCIENCE 2
No comments:
Post a Comment