salju

Wednesday, November 20, 2013

Short Story Until We Meet Again

15 Juli 2010
            “Oke, semuanya! Karena hari ini kita berada di taman bunga, silahkan kalian mengambil beberapa foto mengenai alam, bunga, tumbuhan, dll. Terserah kalian” ucap Pak Kumis.
            Setelah akhirnya Pak Kumis memberikan kami beberapa arahan, anak-anak  klub fotografi lainnya mulai berpencar mencari objek bidikan yang bagus. Maklum, anak-anak yang bergabung dalam klub fotografi ini memang termasuk anak-anak yang maniak untuk memotret maupun dipotret. Yah, mungkin termasuk narsis, tapi aku lebih memilih sebagai orang yang berdiri dibelakang kamera bukan didepan kamera.
            Nina mengajakku berjalan bersama untuk mencari objek yang bagus sekaligus menjadi teman agar kami berdua tidak kebosanan.
            “Ada-ada aja, Pak Kumis. Tiba-tiba nyuruh kita bangun pagi ternyata dia ngajak kita field trip  ke taman bunga, hahaha” Nina memulai pembicaraan
            “Yah, gitu deh, kalau punya guru jiwa petualangnya gede sama eksentrik. Tapi untung juga deh, kita juga Cuma disuruh bayar separuhnya doang. Memang guru paling T-O-P deh, Pak Kumis!” aku memujinya
            “Ngomong-ngomong soal Pak Kumis, gue lupa kenapa anak-anak klub fotografi, termasuk kita berdua nih, kenapa manggil dia Pak Kumis? Padahal nama aslinya kan bagus, Harris. Bule-bule gimana gitu?” ucap Nina panjang lebar
            Aku langsung memasang muka berpikir untuk kembali mengingat-ingat kenapa kami semua memanggilnya dengan sebutan Pak Kumis “Iya juga ya, kalau nggak salah sih? Sejak kita pergi study tour buat kenaikan kelas 2 ke Yogya. Dia mencoba memakai blankon sama baju-baju kraton yang mirip Pak Raden Unyil, tapi yang paling mencolok adalah kumisnya. Dan akhirnya kita semua sepakat panggil dia Pak Kumis, untungnya dia nggak marah dan menjadikan kumisnya itu sebagai asset paling berharganya dia”
            “Kok bisa ya pembimbing kita kayak gitu?” Nina heran
            “Tau deh”
            Setelah berjalan-jalan cukup jauh, kami berdua memutuskan untuk memasuki taman mawar. Dan kami berdua cukup terpesona untuk beberapa detik sebelum akhirnya kami benar-benar masuk kedalam dan memutuskan untuk berpencar di dalam sana.
            Aku mulai memotret berbagai objek indah yang kutemukan dan sebetulnya tak begitu sulit, mengetahui bahwa aku lumayan menyukai mawar apalagi mawar berawarna merah darah. Setiap kali aku berajalan, bunyi klik dari kamera terdengar. Aku memotret setiap mawar yang kulihat, tapi mungkin obsesiku dengan mawar merah membuat semua mayoritas fotoku di taman mawar ini berwarna kebanyakan merah.
            Aku mulai terbawa kedalam duniaku sendiri saat aku mulai memotret berbagai objek-objek indah yang kutemukan, sebelum sebuah tangan menyentuh pundakku, membuatku mundur selangkah karena kaget.
            “Kok kaget gitu sih?” Nina tampak heran melihatku
            “Elo, Nin. Gue kira siapa.” Kataku mengelus dadaku yang masih agak naik-turun
            “Emang siapa lagi disini selain gue sama lo?”
            “Ya, kali tukang kebon gitu? Ada apa?”
            “Udah 45 menit kita disini. Nggak mau pindah ke tempat lain? Gue juga haus nih…” Nina menyadarkanku yang sempat terbengong ketika dia mengucapkan kata “45 menit”
            “Hah? 45 menit? Kita ngapain aja?” aku linglung seketika
            “Ya, motret lah! Astaga, lo kenapa jadi amnesia mendadak sih? Keluar yuk…” ajaknya
            “Harus sekarang ya?” tanyaku dengan nada memohon untuk tinggal disini 5 menit lagi
            “Obsesi lo sama mawar merah darah memang bikin repot ya? Iya. Itu jawaban gue buat pertanyaan lo tadi. Ayo, keluar cari objek lain sekalian minum!” Nina mulai menarik tanganku keluar dari taman mawar dan dengan langkah malas aku mengikutinya.
***
            “Eh disitu ada yang jual minuman!” sahut Nina, “tapi kok ramai ya?” dia mengeluh
            “Kalau lo lama gue tinggal aja ya…” kataku mulai malas
            “Yah, kok gitu sih?” sekarang giliran dia yang memasang muka memohon untuk membuat aku menemaninya hingga ia selesai membeli minuman
            “Time is money, yang artinya jangan kita sia-siakan waktu kita. Kalau misalkan lo beli minuman 5 menit lamanya, berarti gue harus membuang waktu 5 menit gue yang harusnya gue gunakan untuk jalan-jalan tapi malah buat nungguin lo disatu tempat. Sama aja gue yang rugi” jelasku panjang lebar
            “Sok filsafat lo. Yaudah deh sono pergi, ntar gue susulin lo aja” katanya dengan muka manyun
            “Sip. Gue pergi dulu” aku mulai berlari kecil meninggalkannya, sementara ia berlari menuju kearah kedai minuman yang ramai
***
            Aku menurunkan SLR yang berada di depan wajahku setelah beberapa kali mengambil bidikan bunga melati yang telah tumbuh di balik semak-semak. Aku memperlambat jalanku, sambil mencari spot yang enak sebagai tempat istirahat sekaligus mengaggumi pemandangan sekitarku ini.
            Dari kejauhan aku melihat pohon Sycamore yang tumbuh di atas bukit kecil. Aku tersenyum senang melihat tempat itu, dan segera bergegas kearah bukit kecil itu.
            Sesampainya di bukit itu, aku segera menaruh tas selempang hitamku disamping dan membaringkan badanku dibawah pohon Sycamore itu. Aku mulai memandangi langit biru yang terbentang luas dengan awan-awan yang berarak disana, dan mulai terhanyut dalam duniaku lagi bersama angin yang berhembus. Tanganku tergerak untuk mengangkat SLR-ku yang terletak diatas dadaku dan menghadapkannya kearah langit, baru saat aku ingin memencet tombol untuk mengambil gambar langit biru itu, seseorang dengan senyumnya yang menurutku sangat indah muncul dalam layar SLR-ku, dan menyapaku.
            “Hari yang cerah, bukan?” katanya
Aku sama sekali tak bisa berkata apapun, aku terdiam. Satu hal yang kurasakan bahwa tanpa kusadari hanya tanganku yang bergerak langsung memencet tombol SLR, dan dalam hitungan detik kemudian terdengar bunyi klik.
            Aku terpaku seketika. Ingin rasanya aku berteriak kaget tapi kata-kata yang ingin aku ucapkan seperti tercekat di dalam tenggorokanku dan tak bisa kuucapkan, hingga akhirnya dia yang memulai pembicaraan
            “Hei, lo nggak apa-apa kan?” tanyanya kali ini dengan memasang muka khawatir
            “Oh, iya! Astaga maaf…” kataku segera bangkit duduk dari posisi berbaringku, dan mulai bersikap kikuk
            “Hahaha, nggak apa-apa kok” tawanya, “hmm… boleh ikut duduk?” tanyanya lagi padaku
            Aku menatapnya ragu sesaat “Silahkan”
            Kami berdua terdiam cukup lama, sebetulnya aku juga malas untuk mengajaknya bicara. Apalagi jika kembali kuingat-ingat bahwa dia ini orang asing. Aku mulai merasa gugup dan canggung, dan aku paling tidak suka suasana yang gugup dan canggung. Baru terpikir olehku untuk segera bangkit pergi, cowok itu mulai angkat bicara
            “Kesini pasti buat ngambil foto, ya?” tanyanya
            Aku yang saat itu masih melamun, kaget saat mendengarnya bicara “Hah? apa?”
            “Nggak, lo kesini pasti mau ngambil foto, ya kan?”
            “Biasa aja. Memang kenapa?” tanyaku dengan nada datar
            “Itu lo bawa SLR. Kali aja lo termasuk salah satu rombongan yang lagi hunting foto disini”
            Aku mengerti maksud dari ‘rombongan’ yang dia ucapkan “Oh, iya. Biasa pembimbing ngajak kita pergi buat cari inspirasi lain”
            “Capek pasti ya kalo di kota?”
            “Ya, gitu deh. Objeknya itu-itu aja, bosan” jawabku, lalu menoleh kearahnya dan melihat tas yang biasa digunakan untuk SLR terletak disampingnya
            “Lo juga lagi hunting foto disini?” tanyaku
            “Iya. Kok lo tahu?” dia tampak heran
            “Itu tas SLR kan?” kataku sambil menunjuk tas disampingnya
            “Iya, lagi pengen aja. Mumpung di puncak gitu, haha” candanya
            Aku tersenyum kecil “Hmm…”
            “Boleh lihat foto lo nggak?” tanyanya tiba-tiba
            “Hah? ngapain? Nggak ah” jawabku menolak
            “Yah, kan lihat aja. Ntar lo boleh liat foto gue deh” tawarnya
            “Mau banget ya sampai harus nawar begitu?” aku meledeknya
            “Nggak juga. Biasa aja lebih tepatnya. Mau nggak? Gue tahu lo mau lihat”
            Ini orang luar biasa pede-nya, tapi boleh juga sih lihat hasil potretannya. Tapi pede-nya nyebelin banget, pikirku. Aku terdiam sebentar sebelum akhirnya mengiyakan.
            Kami saling bertukar SLR dan melihat hasil foto masing-masing. Aku cukup terkagum dengan hasil karyanya, hasil karyanya sungguh seperti professional. Aku hampir dibuat terbengong-bengong melihat karyanya. Setelah beberapa menit, aku terhanyut dalam foto-fotonya, dia menyadarkanku dengan menepuk pundakku.
            Aku langsung tersadar seketika “Apa?”
            “Gue paling suka foto lo yang ini” katanya sambil menunjukkan foto yang tak sengaja kuambil saat dirinya menyapaku tadi. Dan aku hanya memandangnya dengan tatapan aneh
            “Ya jelas lo suka! Itu foto lo” protesku sambil tertawa kecil
            “Oh iya! hahaha” dia mulai ikut tertawa
            Baru beberapa menit bersamanya sepertinya aku mulai merasa akrab dan menyukainya, dia tampak menyenangkan. Apalagi suara tawanya yang sepertinya mulai terdengar sangat khas.
            “Lo suka foto gue yang mana?” tanyanya
            “Banyak. Jadi bingung…”
            “Yaudah pilih salah satu aja, susah amat…”
            “Iya, iya sabar…” jawabku dan mulai melihat-lihat kembali foto-foto dalam SLR miliknya. Baru ketika aku ingin memberi tahu salah satu foto kesukaanku, sebuah suara yang sangat kukenal menyerukan namaku berkali-kali
            “Ya ampun, kayaknya gue udah dicari!” aku mulai buru-buru merapikan barang-barangku. Aku segera bangkit dari dudukku dan berjalan pergi sebelum cowok itu memegang tanganku tiba-tiba
            “Gue belum tahu nama lo” katanya
            Aku terkejut dengan apa yang ia katakan “Oke. Lo percaya sama pertemuan kedua kan?” tanyaku akhirnya padanya
            Dia terdiam dengan muka tak mengerti
            Aku menghela nafas pendek “Gini. Nanti kalau kita ketemu lagi, gue bakal kasih tahu nama gue ke lo. Tapi kalau nggak berarti lo nggak akan tahu nama gue sampai kapanpun. Gimana?”
            Dia tersenyum seperti menyetujui apa yang kuucapkan “Siapa takut?”
            “Sip. Kalo gitu gue duluan ya” aku berlari meninggalkanya menuju kearah Nina yang daritadi memanggilku dan mulai memarahiku begitu aku muncul dari balik bukit kecil itu.
***
11 Juli 2011
Setahun berlalu, aku bahkan sudah lupa mengenai tantangan yang kuberikan pada cowok asing yang bahkan tak kukenal itu. Dan hari ini di klub fotografi, Pak Kumis tiba-tiba mendatangiku
“Kara!” panggil Pak Kumis saat aku tengah membenahi barang-barang yang berserakan di ruangan klub
“Kenapa, pak?”
“Kamu masih ingat keponakan saya, Rangga?” tanya Pak Kumis
“Lumayan, Pak. Memang ada apa sama keponakan bapak?” jawabku bingung karena tiba-tiba Pak Kumis bertanya soal Rangga
Rangga itu adalah keponakan Pak Kumis yang hobinya juga fotografi. Kata Pak Kumis juga dia seumuran denganku, tapi sayang kami anak-anak klub fotografi tak tahu bagaimana rupanya karena kami hanya mendengar Pak Kumis bercerita tentang dia. Sementara foto saja tak diberitahu.
“Keponakan bapak mau ngundang anak-anak klub fotografi untuk datang ke Festival Fotografi 2011 ini” jelas Pak Kumis
“Hah? bapak serius? Festival Fotografi 2011 terbesar se-Indonesia itu yang diadain hari Sabtu depan itu?” aku kaget
“Iya! Kamu nggak usah kaget gitu dong” Pak Kumis terheran-heran melihatku begitu semangat
“Hehehe, iya pak. Maaf” aku tertawa cengengesan
“Tadi bapak lupa pengen kasih tahu kalian semua. Tapi, mumpung tinggal kamu yang lagi bebersih disini, nanti kamu kasih tahu anak-anak yang lain ya”
“Serius itu, pak? Baik banget memang keponakan bapak! hahaha” ucapku kegirangan
“Iya, iya kalau gitu bapak duluan ya. Ini kuncinya kalau sudah selesai bebersih”
“Ya, pak!” seruku sepeninggalan Pak Kumis dari ruang klub. Setelah Pak Kumis pergi, aku langsung mengambil blackberry-ku dan menyebarkan berita menyenangkan tadi lewat grup.
***
            15 Juli 2011
            Jalanan begitu ramai padat merayap, apalagi saat mau memasuki gerbang tiket parkir di JCC. Beruntungnya kami karena sudah memperkirakan akan semacet ini jalanan sehingga kami berangkat agak cepat. Setidaknya, yang dimaksud cepat kami masih bisa mendapatkan tempat parkir di dalam JCC.
            Begitu kami memarkir mobil, kami segera berjalan mengikuti Pak Kumis yang langsung memasuki gedung JCC. Gedung itu tampak begitu luas, banyak orang berlalu lalang, berbincang-bincang, reporter, dsb. Sepertinya acara ini memang besar, pikirku
            Pak Kumis langsung memimpin jalan agar kami tidak kesasar dan langsung menuju main hall di JCC. Dimana Festival Fotografi itu diadakan. Baru sampai di depan pintu main hall aku langsung terkagum-kagum dengan apa yang ada didalamnya, ada begitu banyak orang yang ada didalam sana dari artis ibukota, reporter, kritikus, fotografer ternama, dan berbagai foto-foto hasil karya dari orang-orang yang berbeda. Aku begitu tercengang sampai tidak menyadari Pak Kumis dan yang lain sudah jauh berada di depanku, saat tengah berjalan Ari memanggil Pak Kumis
            “Pak, kita boleh mencar nggak?”
            “Mencar? Kamu memang mau kemana?” tanya Pak Kumis
            “Ya, lihat foto-foto lah, pak. Memang mau kemana lagi?”
            “Saya ngeri kalian kesasar”
            “Ya, nggak mungkin lah, pak. Bapak bisa aja…” Nina angkat bicara
            “Ya, terserah kalian, sih. Bapak mau ke tempat keponakan bapak dulu”
            “Oke lah, pak! Nanti kita susul kesana! Duluan, pak” Ari langsung pergi berpencar entah kemana bersama Dion
            “Yuk, Kar.” Ajak Nina padaku dan kami mulai berpencar dari yang lain
            Kami berdua berjalan melihat-lihat setiap foto yang terpajang di dinding. Nina begitu terpaku oleh salah satu foto bangunan yang memang dari segi foto itu sendiri diambil tampak begitu perspektif. Aku ingin mengajaknya berjalan untuk melihat foto yang lain, tapi ia masih tetap ingin berada disitu sehingga aku memutuskan untuk meninggalkannya sebentar, dan melihat-lihat foto lain.
            Saat tengah asyik melihat satu persatu foto yang terpajang di dinding, tatapanku berhenti pada sebuah foto yang menampakkan pohon Sycamore berlatar belakang langit sore yang mulai orange kemerah-merahan, tanda matahari terbenam. Foto itu seakan rasa begitu familier bagiku, aku menatap foto itu dengan tatapan mengingat-ingat. Aku sangat yakin foto itu tampak tidak asing, aku melihat judul dari foto itu yang tertulis Until We Meet Again oleh Rangga Chandrawinata. Rangga? Jangan-jangan ini potretan keponkan Pak Kumis, lagi? tapi kok kayak ada yang nggak asing ya? pikiranku tampak hanyut dalam lukisan itu seakan-akan ada yang mengingatkanku tentang sesuatu.  
            Aku tampak memperhatikan serius akan foto itu, hingga keseriusanku berakhir saat sebuah suara terdengar dari samping kiriku.
            “Cuacanya cerah ya?” kata suara yang tampak tak asing
            Aku menoleh ke sampingku dan terpaku sesaat. Disitu ia berdiri, tepat disampingku, bertanya pertanyaan yang sama saat pertama kali bertemu dan aku bahkan masih terkejut saat bertemu dengannya lagi. Tak tahu apakah ini suatu kebetulan atau bukan
            “Nggak usah pasang muka kaget gitu kali?” kata cowok itu
            “Lo… lo cowok yang di taman bunga itu kan?” tanyaku setengah tak percaya
            “Memangnya siapa lagi?” tanyanya sambil tersenyum, “Rangga” dia mengulurkan tangannya memperkenalkan diri
            Masih tampak terkejut aku menyambut uluran tangannya “Kara”
            “Iya. Sudah tahu kok”
            Sungguh, ini cowok kenapa senang sekali mebuatku kaget, heran, dan kesal sih? aku tampak kesal  “Sudah tahu nama gue? Kalo gitu kenapa ngenalin diri?”
            “Karena lo belum tahu nama gue, kan?”
            Betul juga. “Hmm…” aku hanya berguman
            Tapi ada satu hal yang membuatku bingung, bagaimana ia bisa tahu namaku? Aku saja belum tahu namanya.
            “Hei, kok lo…” belum sempat aku menyelesaikan kalimatku, sebuah suara menyerukan nama Rangga. Dan kami berdua menoleh secara bersamaan
            “Pak Kumis?” kataku
            “Loh? Kamu disini toh, Ra. Daritadi dicariin Nina kamu.” jelas Pak Kumis, tiba-tiba Pak Kumis melihat kami berdua secara bergantian dan berkata “rupanya kalian sudah saling kenal, ya?”
            “Hah? maksud bapak?” tanyaku bingung
            “Ini kan keponakan saya, Ra. Namanya Rangga Chandrawinata” kalimat Pak Kumis ini membuatku kaget seketika, dengan mulut yang menganga
            “Ra, tutup mulut lo, malu diliatin banyak orang” Rangga mengingatkannya
            “Kok bisa sih? saya jadi nggak ngerti gini deh pak?” Aku mulai linglung
            “Paman, kembali saja ke tempat duduk tadi nanti biar aku sama Kara nyusul”
            Setelah Rangga berkata begitu Pak Kumis pun segera kembali ke tempat Rangga yang disuruh Rangga. Dan kembali menatapku yang kebingungan membutuhkan penjelasan
            “Lo pasti butuh penjelasan ya?” tebaknya
            “Itu sangat betul. Sekarang jelasin dari awal sampai akhir” aku menagih penjelasan padanya
            “Bukan suatu kebetulan kalau lo ketemu lagi sama gue disini, karena memang gue sudah ngerencanain semuanya.” jelasnya membuatku masih menatapnya heran. Dia menghela nafas pajang dan kembali melanjutkan ceritanya “Kita memang ketemu di taman bunga karena kebetulan gue sama temen-temen satu sekolah gue ada acara disana juga. Pas gue lagi sibuk nyari objek, gue ketemu paman gue yang selalu lo sebut ‘Pak Kumis’ itu. Gue ngobrol-ngobrol sama dia sebentar, katanya gue disuruh nyari lo.” katanya dan membuatku kaget
            “Nyari gue? Ngapain Pak Kumis nyari lo buat manggil gue?”
            “Sebentar kan belum selesai” Rangga menambahkan sementara aku hanya manggut-manggut
            “Katanya gue disuruh nyari lo supaya kita bisa tukar pendapat atau inspirasi. Kata paman gue lo itu mirip gue, begitu menghadap SLR lo udah ada di dunia lo sendiri. Gue sebenarnya nggak ngikutin permintaan paman gue, gue secara tiba-tiba aja ngeliat lo lagi motret banyak bunga, terus istirahat di bawah pohon Sycamore. Lo kayak nggak memperhatikan keberadaan gue yang jelas-jelas ada di belakang lo saat itu, gue penasaran sama lo dan entah kenapa gue bisa tiba-tiba datangin lo.”
            “Gitu doang?”
            “Gimana mau selesai kalo lo potong-potong?”
            “Maaf, maaf. Mari lanjutkan”
“Entah kenapa gue berasa lo itu unik. Makadari itu gue nanya nama lo, dan elo malah bikin gue penasaran pake acara bakal ngasih nama kalo kita ketemu untuk kedua kalinya. Gue setujuin aja apa yang lo mau. Beberapa minggu kemudian, pas gue ketemuan sama paman gue, dia ngasih tunjuk hasil foto-foto lo di taman bunga. Dan harus gue akuin gue kagum sama foto-foto lo, gue tahu itu foto dari lo karena di salah satu foto itu ada foto gue yang lo nggak sengaja foto. Makanya gue nanya nama lo sama paman gue. Dan dia bilang kalo foto-foto ini hasil potretan lo, Kara.”
Aku sedikit tersipu akan pengakuannya “Jadi pertemuan ini direncanain bareng Pak Kumis juga? Bukan kebetulan? Yah, nggak spesial deh” ledekku
            “Ini kebetulan kok. Gue Cuma minta dia ngundang klub fotografi aja, gue nggak tahu lo ikut atau nggak. Dan gue juga nggak cerita ke paman soal pertemuan kita dibawah pohon Sycamore. Setelah lo pergi itu, gue duduk disana sampai matahari mulai terbenam dengan latar belakang langit yang terbakar gue foto pohon Sycamore itu, dan dengan judul Until We Meet Again” katanya sambil tersenyum lalu menoleh padaku
            Aku menundukkan muka menyembunyikan mukaku yang mulai panas tiba-tiba. Tidak pernah aku merasa seperti ini ketika bicara pada cowok, apalagi cowok asing seperti dia. Yah, dia memang sudah tidak asing lagi karena kami sudah berkenalan. Aku membalas tatapannya
            “Dunia begitu sempit” kataku sambil melihat foto pohon Sycamore itu seraya tertawa kecil

            “Saking sempitnya kita bisa ketemu lagi” jawabnya, dan kami berdua tertawa bersamaan


p.s: mohon maaf apabila ada kesamaan nama maupun cerita, tidak disengaja..
by: Adella Ludiant W.
XI SCIENCE 2

No comments:

Post a Comment